Agresi Militer Belanda: Apa Maksudnya dan Kapan Terjadinya?

Table of Contents

Guys, kalau kita ngomongin sejarah kemerdekaan Indonesia, pasti nggak lepas dari berbagai perjuangan dan tantangan. Salah satu momen paling krusial dan sering jadi perdebatan adalah soal Agresi Militer Belanda. Mungkin banyak yang udah pernah dengar istilah ini, tapi sebenarnya apa sih maksudnya, dan kapan persisnya peristiwa ini terjadi? Yuk, kita bedah bareng-bareng!

Secara sederhana, Agresi Militer Belanda itu adalah sebutan yang digunakan oleh pihak Indonesia untuk menggambarkan serbuan atau serangan berskala besar yang dilancarkan oleh militer Belanda ke wilayah-wilayah yang dikuasai Republik Indonesia setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Belanda, yang saat itu belum sepenuhnya mengakui kemerdekaan Indonesia, berusaha menguasai kembali wilayah jajahannya dengan kekuatan senjata. Mereka menyebut operasi ini sebagai Politionele Acties atau “Aksi Polisionil”, seolah-olah ini hanya tindakan penertiban keamanan, padahal skalanya adalah operasi militer penuh.

Kenapa disebut ‘agresi’? Karena dari sudut pandang Indonesia, Belanda adalah negara asing yang menyerang negara yang sudah menyatakan merdeka dan berdaulat. Ini bukan cuma soal penertiban, tapi usaha untuk menghancurkan Republik Indonesia dan mendirikan negara-negara boneka di berbagai daerah. Makanya, istilah Agresi Militer Belanda lebih tepat menggambarkan situasi sebenarnya dari sudut pandang pihak Indonesia.

Peristiwa ini nggak terjadi cuma sekali, lho. Ada dua periode utama Agresi Militer Belanda yang sangat penting dalam sejarah perjuangan mempertahankan kemerdekaan kita. Kedua agresi ini punya latar belakang, sasaran, dan dampak yang berbeda, tapi sama-sama menunjukkan betapa gigihnya perjuangan bangsa Indonesia.

Agresi Militer Belanda
Image just for illustration

Latar Belakang Agresi Militer Belanda

Setelah Jepang menyerah pada Sekutu di Perang Dunia II, Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Namun, Belanda yang merupakan penguasa kolonial sebelumnya, nggak terima begitu saja. Mereka ingin kembali menancapkan kekuasaannya di Nusantara. Dengan bantuan tentara Sekutu (terutama Inggris sebagai komandan di Asia Tenggara), tentara Belanda (yang tergabung dalam NICA - Netherlands Indies Civil Administration) mulai kembali ke Indonesia.

Kepulangan Belanda ini langsung disambut perlawanan dari rakyat Indonesia yang sudah merasakan manisnya kemerdekaan, meskipun baru seumur jagung. Terjadilah pertempuran sengit di berbagai daerah, seperti Pertempuran Surabaya. Di sisi lain, usaha-usaha diplomasi juga dilakukan untuk menyelesaikan konflik ini secara damai. Berbagai perundingan pun digelar, seperti Perundingan Linggarjati dan Perundingan Renville.

Sayangnya, perundingan-perundingan ini selalu mentok karena perbedaan prinsip yang sangat mendasar. Belanda hanya mau mengakui kedaulatan Indonesia sebagian atau dalam kerangka negara federasi di bawah Kerajaan Belanda, sementara Indonesia bersikeras pada kemerdekaan penuh dan kedaulatan atas seluruh wilayah bekas Hindia Belanda. Kegagalan diplomasi inilah yang kemudian memicu Belanda mengambil jalan kekerasan, yaitu melancarkan Agresi Militer.

Agresi Militer Belanda I: Operasi Produk

Agresi Militer Belanda yang pertama ini diberi nama sandi Operatie Product oleh pihak Belanda. Nama ini sendiri cukup ironis, karena tujuannya antara lain adalah menguasai kembali wilayah-wilayah yang kaya akan hasil perkebunan dan tambang yang merupakan “produk” Hindia Belanda.

Kapan Terjadinya Agresi Militer Belanda I?

Agresi Militer Belanda I terjadi mulai 21 Juli 1947 dan berakhir pada 5 Agustus 1947. Jadi, Agresi Militer Belanda I ini berlangsung sekitar dua minggu saja, tapi dampaknya sangat besar. Serangan ini dilancarkan hanya beberapa hari setelah Perundingan Linggarjati, yang meskipun sudah ditandatangani, ternyata penafsirannya berbeda antara kedua belah pihak dan tetap menyisakan ketegangan. Belanda merasa Indonesia melanggar kesepakatan, sementara Indonesia menganggap Belanda punya niat terselubung.

Mengapa Terjadi Agresi Militer Belanda I?

Alasan utama Belanda melancarkan Agresi Militer I adalah ingin menghancurkan kekuatan militer Republik Indonesia dan menguasai kembali wilayah-wilayah strategis dan kaya sumber daya alam. Mereka menganggap wilayah yang dikuasai RI, terutama di Jawa dan Sumatra, adalah “kantong-kantong” yang harus ditertibkan. Belanda juga ingin menunjukkan kepada dunia bahwa Republik Indonesia yang baru berdiri itu lemah dan tidak punya kontrol atas wilayahnya. Mereka merasa berhak kembali karena secara de jure (menurut hukum internasional saat itu dari sudut pandang mereka) kedaulatan atas Hindia Belanda masih di tangan Belanda.

Bagaimana Agresi Militer Belanda I Berlangsung?

Serangan Belanda ini dilakukan secara mendadak dan dari berbagai arah di Pulau Jawa dan Sumatra. Target utamanya adalah kota-kota besar dan pusat-pusat ekonomi seperti perkebunan, tambang, dan pelabuhan. Di Jawa, mereka bergerak dari Jakarta (Batavia) ke arah Jawa Barat dan Jawa Tengah, serta dari Surabaya ke arah Jawa Timur. Di Sumatra, target utama adalah wilayah perkebunan di Sumatra Timur dan tambang minyak di Palembang.

Pasukan Belanda saat itu jauh lebih unggul dalam persenjataan dan logistik. Mereka menggunakan tank, pesawat tempur, dan kapal perang untuk mendukung serangan darat. Tentara Republik Indonesia yang baru terbentuk (TNI) masih mengandalkan semangat juang dan persenjataan seadanya hasil rampasan atau buatan sendiri. Meskipun begitu, perlawanan sengit tetap diberikan di berbagai front. Banyak pejuang dan rakyat sipil yang gugur dalam pertempuran ini.

Dampak Agresi Militer Belanda I

Dalam waktu singkat, Belanda berhasil menguasai wilayah yang cukup luas, terutama di sepanjang jalur kereta api dan jalan raya utama. Kota-kota penting seperti Bogor, Bandung, Semarang, Malang, dan Palembang sebagian atau seluruhnya jatuh ke tangan Belanda. Hal ini sangat merugikan posisi Republik Indonesia, baik secara militer maupun ekonomi.

Namun, Agresi Militer I ini juga punya dampak positif bagi perjuangan Indonesia dari sisi lain. Serangan mendadak Belanda ini menarik perhatian dunia internasional. Banyak negara, termasuk India dan Australia, membawa masalah ini ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). PBB kemudian mengeluarkan resolusi Dewan Keamanan PBB yang menyerukan penghentian permusuhan.

Atas desakan PBB dan tekanan internasional (terutama dari Amerika Serikat dan Inggris), Belanda akhirnya terpaksa menghentikan serangan pada 5 Agustus 1947. Didirikanlah Komisi Tiga Negara (KTN) yang terdiri dari Australia (dipilih Indonesia), Belgia (dipilih Belanda), dan Amerika Serikat (dipilih kedua pihak) untuk menengahi sengketa ini. Agresi Militer I memang berhenti, tapi bukan berarti perjuangan selesai. Wilayah yang dikuasai Belanda tetap di bawah kontrol mereka, dan garis batas wilayah kekuasaan kedua belah pihak pun ditetapkan secara sepihak oleh Belanda, dikenal sebagai “Garis Van Mook”.

Periode Gencatan Senjata dan Perundingan Renville

Setelah Agresi Militer I, ada periode gencatan senjata. Dalam upaya mencari solusi damai, perundingan kembali dilakukan di atas kapal perang AS bernama USS Renville yang berlabuh di Teluk Jakarta. Perundingan Renville ini berlangsung dari Desember 1947 hingga ditandatanganinya perjanjian pada 17 Januari 1948.

Hasil Perjanjian Renville ini sangat merugikan Indonesia. Republik Indonesia hanya diakui kedaulatannya atas wilayah kecil di Jawa dan Sumatra yang belum diduduki Belanda (praktis Jawa Tengah, Yogyakarta, dan sebagian kecil Sumatra). Pasukan TNI juga harus ditarik mundur dari wilayah-wilayah yang diduduki Belanda di belakang Garis Van Mook. Perjanjian ini menimbulkan kekecewaan besar di kalangan pejuang dan politisi Indonesia, bahkan menyebabkan jatuhnya kabinet Amir Sjarifuddin.

Kondisi pasca-Renville ini sangat precarious (rentan). Wilayah RI menyempit, ekonomi sulit, dan Belanda mendirikan negara-negara boneka (seperti Negara Pasundan, Negara Sumatra Timur, dll.) di wilayah yang mereka kuasai untuk mengepung dan melemahkan Republik. Ketegangan terus meningkat, dan Belanda tampaknya memang tidak sungguh-sungguh berniat menyelesaikan masalah melalui negosiasi. Mereka menunggu momen yang tepat untuk melancarkan serangan berikutnya dan menghancurkan Republik Indonesia sepenuhnya.

Agresi Militer Belanda II: Operasi Gagak

Tidak lama setelah Perjanjian Renville, situasi kembali memanas. Belanda melihat adanya kesempatan emas ketika Republik Indonesia sedang menghadapi masalah internal, termasuk pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948. Belanda mengira ini adalah waktu yang tepat untuk memberikan pukulan telak.

Kapan Terjadinya Agresi Militer Belanda II?

Agresi Militer Belanda II terjadi mulai 19 Desember 1948. Serangan ini juga dilakukan secara mendadak, tanpa peringatan. Belanda secara sepihak menyatakan tidak terikat lagi dengan Perjanjian Renville. Serangan ini difokuskan untuk menangkap para pemimpin Republik dan menguasai ibu kota saat itu, yaitu Yogyakarta.

Operasi militer besar-besaran ini berlangsung cepat di awal penyerangan. Meski serangan utama ke ibu kota selesai dalam beberapa hari dengan jatuhnya Yogyakarta, perlawanan bersenjata dalam bentuk perang gerilya oleh TNI terus berlanjut di seluruh wilayah yang diduduki Belanda selama berbulan-bulan setelah itu. Jadi, meskipun fase serangannya singkat, dampaknya dan pertempuran sporadis yang ditimbulkan berlangsung hingga awal tahun 1949.

Mengapa Terjadi Agresi Militer Belanda II?

Alasan utama Belanda melancarkan Agresi Militer II adalah untuk menghancurkan pemerintahan Republik Indonesia yang dianggap sebagai batu sandungan utama bagi rencana pembentukan negara federasi di bawah kendali Belanda. Mereka ingin menangkap para pemimpin kunci seperti Soekarno, Hatta, dan Sjahrir, dengan harapan Republik akan runtuh tanpa pemimpinnya. Belanda juga ingin menunjukkan kepada dunia bahwa Republik tidak mampu mempertahankan wilayahnya dan tidak layak dianggap sebagai negara berdaulat.

Bagaimana Agresi Militer Belanda II Berlangsung?

Agresi Militer II diawali dengan serangan udara terhadap lapangan terbang Maguwo (sekarang Bandara Adisutjipto) di Yogyakarta pada pagi hari 19 Desember 1948. Setelah melumpuhkan pangkalan udara tersebut, pasukan parasut Belanda diterjunkan untuk menguasai lapangan terbang dan segera bergerak menuju Kota Yogyakarta.

Dalam waktu singkat, pasukan Belanda berhasil menduduki Yogyakarta dan menangkap Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, Perdana Menteri Sutan Sjahrir, dan beberapa pejabat tinggi lainnya. Mereka kemudian diasingkan ke luar Jawa. Panglima Besar Jenderal Soedirman yang saat itu sedang sakit tetap bergerilya memimpin pasukannya dari hutan.

Meskipun ibu kota dan para pemimpinnya ditangkap, Republik Indonesia tidak bubar. Sebelum Yogyakarta jatuh, Presiden Soekarno sempat mengirim mandat kepada Mr. Syafruddin Prawiranegara yang sedang berada di Sumatra untuk membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). PDRI ini kemudian menjadi simbol eksistensi Republik Indonesia di saat pemerintah pusat ditawan.

Perlawanan bersenjata beralih ke strategi perang gerilya yang dipimpin oleh Jenderal Soedirman dan komandan-komandan lain di daerah. Pasukan TNI dan laskar rakyat melancarkan serangan sporadis dan penyergapan terhadap pasukan Belanda di berbagai tempat. Salah satu serangan gerilya yang paling terkenal adalah Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta, yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Soeharto (saat itu) atas restu Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Serangan ini berhasil menduduki Yogyakarta selama beberapa jam dan menunjukkan kepada dunia bahwa Republik Indonesia masih ada dan mampu melakukan perlawanan.

Dampak Agresi Militer Belanda II

Dampak Agresi Militer II sangat signifikan. Secara militer, Belanda memang berhasil menduduki wilayah-wilayah vital dan menangkap para pemimpin RI. Namun, secara politik dan diplomatik, Agresi II ini justru menjadi bumerang bagi Belanda.

Penangkapan pemimpin negara yang sah dan penyerangan terhadap ibu kota negara yang sedang bernegosiasi mengundang kecaman keras dari dunia internasional. PBB, yang tadinya agak lambat bereaksi pada Agresi I, kali ini bereaksi jauh lebih cepat dan tegas. Amerika Serikat bahkan mengancam akan menghentikan bantuan Marshall Plan (bantuan ekonomi untuk membangun kembali Eropa pasca-PD II) kepada Belanda jika tidak menghentikan aksinya di Indonesia. Tekanan internasional ini sangat efektif.

Agresi Militer II juga membuktikan bahwa meskipun secara militer kalah kuat, semangat juang rakyat dan TNI tidak pernah padam. Perang gerilya yang dilakukan membuat Belanda kewalahan dan membutuhkan biaya sangat besar. Kegigihan PDRI di Sumatra juga menunjukkan kepada dunia bahwa Republik Indonesia tetap eksis dan berdaulat.

Reaksi Internasional dan Jalan Menuju Pengakuan

Agresi Militer Belanda I dan II, terutama yang kedua, benar-benar mengubah pandangan dunia terhadap konflik Indonesia-Belanda. Negara-negara lain yang tadinya mungkin acuh tak acuh, mulai bersimpati pada perjuangan Indonesia.

PBB memainkan peran penting dalam proses penyelesaian konflik. Dewan Keamanan PBB berkali-kali mengeluarkan resolusi yang menuntut Belanda menghentikan agresi dan membebaskan para pemimpin RI. Amerika Serikat, yang awalnya netral, beralih mendukung Indonesia karena khawatir Belanda yang terus berperang akan membuka peluang bagi penyebaran komunisme di Asia Tenggara, di tengah Perang Dingin yang sedang dimulai.

Tekanan dari PBB dan negara-negara berpengaruh, ditambah dengan kerugian besar yang diderita Belanda akibat perang gerilya yang tak kunjung usai, memaksa Belanda untuk kembali ke meja perundingan. Dimulailah Perundingan Roem-Royen pada Mei 1949, yang menghasilkan kesepakatan bahwa Belanda akan menghentikan permusuhan, mengembalikan pemerintah RI ke Yogyakarta, dan bersedia mengikuti Konferensi Meja Bundar (KMB) untuk membahas pengakuan kedaulatan.

Konferensi Meja Bundar kemudian diselenggarakan di Den Haag, Belanda, dari 23 Agustus hingga 2 November 1949. Setelah negosiasi yang alot, akhirnya tercapai kesepakatan. Belanda secara resmi mengakui kedaulatan Republik Indonesia Serikat (RIS) pada 27 Desember 1949. Meskipun masih dalam bentuk RIS (negara federal) dan belum mencakup Irian Barat, tanggal ini secara historis diakui sebagai momen penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Indonesia. RIS kemudian kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada 17 Agustus 1950.

Fakta Menarik Seputar Agresi Militer Belanda

  • Belanda selalu menyebutnya Politionele Acties atau “Aksi Polisionil”. Penggunaan istilah ini menunjukkan upaya Belanda untuk meremehkan skala operasi militer yang mereka lakukan dan menggambarkan perlawanan Indonesia sebagai tindakan kriminal yang perlu “ditertibkan” oleh polisi.
  • Nama sandi Operatie Product untuk Agresi I secara terang-terangan merujuk pada target ekonomi: menguasai kembali wilayah-wilayah penghasil komoditas ekspor seperti karet, gula, teh, dan timah.
  • Nama sandi Operatie Kraai untuk Agresi II berarti “Operasi Gagak”. Kenapa Gagak? Mungkin untuk menggambarkan kecepatan dan keberingasan serangan, seperti burung gagak yang menyambar mangsa.
  • Meskipun Belanda berhasil menduduki Yogyakarta dalam Agresi II, perlawanan di lapangan tidak pernah berhenti. Jenderal Soedirman tetap memimpin perang gerilya meskipun dalam kondisi sakit parah akibat TBC, menunjukkan keteguhan hati para pemimpin dan prajurit TNI.
  • Serangan Umum 1 Maret 1949 adalah momen penting yang berhasil mematahkan propaganda Belanda bahwa Republik Indonesia sudah tidak ada. Keberhasilan ini dilaporkan oleh wartawan asing dan disiarkan ke seluruh dunia, meningkatkan posisi tawar Indonesia di mata internasional, terutama di PBB.

Mengapa Penting Memahami Agresi Militer Belanda?

Memahami Agresi Militer Belanda bukan sekadar menghafal tanggal atau nama operasi. Lebih dari itu, ini mengajarkan kita tentang betapa sulitnya perjuangan para pendahulu kita dalam mempertahankan kemerdekaan yang sudah diproklamasikan. Ini menunjukkan bahwa kemerdekaan itu tidak datang begitu saja, melainkan direbut dan dipertahankan dengan pengorbanan yang luar biasa, baik melalui jalur diplomasi maupun perjuangan bersenjata.

Peristiwa ini juga mengingatkan kita akan pentingnya persatuan. Meskipun dalam kondisi terdesak akibat agresi dan perpecahan politik di dalam negeri, rakyat dan pemimpin Indonesia berhasil bersatu untuk melawan agresi asing dan mempertahankan eksistensi negara.

Selain itu, ini juga mengajarkan kita tentang peran diplomasi dan dukungan internasional. Tanpa tekanan dari PBB dan negara-negara lain, mungkin perjuangan fisik akan jauh lebih berat dan panjang. Ini menunjukkan bahwa kemerdekaan suatu bangsa juga bisa dipengaruhi oleh konstelasi politik global.

Agresi Militer Belanda adalah babak kelam dalam sejarah hubungan Indonesia-Belanda. Pemahaman yang utuh tentang peristiwa ini, termasuk mengakui korban di kedua belah pihak, penting untuk membangun hubungan yang lebih baik berdasarkan saling pengertian dan penghormatan.

Jadi, Agresi Militer Belanda adalah serangan besar-besaran yang dilakukan Belanda untuk merebut kembali Indonesia setelah merdeka. Terjadi dua kali: Agresi Militer I (Operasi Produk) pada 21 Juli - 5 Agustus 1947 dan Agresi Militer II (Operasi Kraai) mulai 19 Desember 1948 dan perlawanan gerilya berlanjut hingga awal 1949. Kedua agresi ini berhasil diatasi berkat perjuangan gigih bangsa Indonesia dan dukungan dunia internasional, yang akhirnya memaksa Belanda mengakui kedaulatan Indonesia pada akhir tahun 1949.

Semoga penjelasan ini bikin kalian makin paham ya tentang salah satu episode paling penting dalam sejarah perjuangan bangsa kita!

Gimana nih menurut kalian? Ada fakta lain tentang Agresi Militer Belanda yang kalian tahu? Atau mungkin ada pertanyaan yang masih mengganjal? Yuk, share pemikiran atau pertanyaan kalian di kolom komentar di bawah!

Posting Komentar