Mengenal GBHN: Garis Besar Haluan Negara yang Perlu Kamu Tahu
Image just for illustration
Pernah dengar istilah GBHN? Buat kamu yang lahir di era Orde Baru atau belajar sejarah politik Indonesia, pastinya nggak asing lagi dengan singkatan yang satu ini. GBHN ini semacam “kompas” atau “peta besar” yang dipakai negara kita di masa lalu untuk menentukan mau dibawa ke mana arah pembangunan dan kebijakan negara.
GBHN adalah singkatan dari Garis-Garis Besar Haluan Negara. Simpelnya, ini adalah dokumen penting yang berisi tentang arah umum, tujuan, dan sasaran pembangunan nasional Indonesia untuk jangka waktu tertentu. Dokumen ini bukan sekadar rencana biasa, tapi punya kekuatan hukum yang mengikat, khususnya bagi penyelenggara negara.
Pengertian GBHN: Garis Besar Haluan Negara yang Mengikat¶
Gampangnya gini, bayangkan negara ini mau melakukan perjalanan jauh. Nah, GBHN itu ibarat master plan atau rencana induk perjalanan itu. Isinya garis-garis besarnya, tujuan utamanya apa, dan nilai-nilai apa yang harus dipegang selama perjalanan. Bukan detail teknisnya, tapi lebih ke filosofi, visi, dan prioritas besar.
Dokumen ini secara konstitusional menjadi pedoman dalam menyusun perencanaan dan pelaksanaan pembangunan nasional. Artinya, semua kebijakan dan program yang dibuat oleh pemerintah, dari tingkat pusat sampai daerah, harus mengacu dan sejalan dengan apa yang tertulis di GBHN. Ibaratnya, semua harus satu suara dan satu arah sesuai kompas besar tadi.
Dalam sejarahnya, GBHN ini dibuat dan ditetapkan oleh lembaga negara yang punya kedudukan tertinggi saat itu, yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Ini menunjukkan betapa sentralnya posisi GBHN dalam sistem ketatanegaraan Indonesia sebelum era Reformasi.
Sejarah dan Latar Belakang Munculnya GBHN¶
Konsep adanya “Garis-Garis Besar Haluan Negara” ini sebenarnya berakar pada Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) sebelum diamandemen. Pasal 3 UUD 1945 (versi asli) menyebutkan bahwa MPR menetapkan Undang-Undang Dasar dan Garis-Garis Besar Haluan Negara. Ini memberi mandat konstitusional kepada MPR untuk membuat haluan negara.
Implementasi GBHN secara konsisten dan menjadi tulang punggung perencanaan pembangunan nasional paling kental terjadi di era Orde Baru, di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto (sekitar tahun 1966/1967 hingga 1998). GBHN ditetapkan setiap lima tahun sekali dalam Sidang Umum atau Sidang Tahunan MPR. Dokumen inilah yang kemudian menjadi acuan utama pemerintah (Presiden) dalam menyusun rencana pembangunan lima tahunan, yang dikenal dengan nama Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun).
Kemunculan GBHN di era Orde Baru didorong oleh kebutuhan untuk menata kembali kehidupan berbangsa dan bernegara yang sempat mengalami gejolak politik dan ekonomi di era sebelumnya. Pemerintah Orde Baru melihat perlunya arah yang jelas dan terstruktur untuk mencapai stabilitas dan pembangunan ekonomi. GBHN dianggap sebagai instrumen yang tepat untuk menyatukan visi pembangunan secara nasional.
Siapa yang Menyusun GBHN? Peran Sentral MPR¶
Sesuai mandat UUD 1945 (asli), lembaga yang berwenang menyusun dan menetapkan GBHN adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). MPR saat itu terdiri dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), utusan daerah, dan utusan golongan. Mereka bersidang dalam Sidang Umum atau Sidang Tahunan untuk membahas dan menetapkan GBHN.
Proses penyusunannya biasanya melibatkan berbagai pihak, meskipun pada praktiknya di era Orde Baru, peran eksekutif (pemerintah) seringkali sangat dominan dalam memberikan masukan draf awal. Namun, secara formal, pengesahan tetap ada di tangan MPR. Setelah disahkan oleh MPR, GBHN menjadi ketetapan MPR (Tap MPR) yang mengikat presiden sebagai mandataris MPR untuk melaksanakannya.
Peran MPR dalam menetapkan GBHN ini juga menunjukkan posisi MPR sebagai lembaga tertinggi negara di masa itu, yang memiliki kewenangan untuk memberi “mandat” kepada presiden untuk menjalankan pemerintahan sesuai haluan yang telah ditetapkan. Presiden dianggap sebagai “mandataris MPR”.
Isi dan Fungsi Utama GBHN¶
Secara umum, isi dari GBHN mencakup berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Mulai dari bidang politik, ekonomi, sosial-budaya, sampai pertahanan dan keamanan. Setiap GBHN yang ditetapkan untuk periode lima tahunan biasanya memiliki penekanan atau prioritas yang disesuaikan dengan kondisi dan tantangan zaman saat itu.
Fungsi utama GBHN adalah:
- Memberikan Arah dan Pedoman: Menjadi panduan utama bagi penyelenggara negara dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan pembangunan. Ini memastikan adanya konsistensi dan keberlanjutan pembangunan dari waktu ke waktu.
- Koordinasi Pembangunan: Membantu mengkoordinasikan berbagai program dan kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh lembaga pemerintah pusat, pemerintah daerah, maupun masyarakat, agar semuanya bergerak menuju tujuan yang sama.
- Evaluasi Kinerja Pemerintah: Menjadi tolok ukur untuk mengevaluasi sejauh mana pemerintah (dalam hal ini presiden sebagai mandataris MPR) berhasil melaksanakan tugas-tugasnya sesuai dengan garis-garis yang telah ditetapkan. MPR akan menilai pertanggungjawaban presiden di akhir masa jabatannya berdasarkan pelaksanaan GBHN.
- Menyatukan Visi Nasional: Merangkum cita-cita dan tujuan nasional ke dalam satu dokumen yang disepakati oleh MPR sebagai representasi seluruh rakyat, meskipun pada praktiknya representasi di MPR era Orde Baru sering diperdebatkan.
Dengan adanya GBHN, diharapkan pembangunan nasional tidak berjalan sporadis atau gonta-ganti arah setiap kali terjadi pergantian pimpinan, tetapi memiliki benang merah dan visi jangka panjang yang jelas.
Implementasi GBHN Melalui Repelita¶
Seperti yang sudah disinggung sedikit, GBHN itu adalah apa dan mengapa-nya pembangunan, sementara Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun) adalah bagaimana-nya. Setelah GBHN ditetapkan oleh MPR, Presiden dan jajarannya akan menerjemahkan garis-garis besar tersebut menjadi rencana kerja yang lebih detail dan operasional dalam bentuk Repelita.
Repelita ini berisi program-program pembangunan konkrit, target-target yang terukur, alokasi anggaran, dan jadwal pelaksanaan untuk periode lima tahun. Ada Repelita I, Repelita II, III, IV, V, dan VI, yang semuanya mengacu pada GBHN yang berlaku pada periode tersebut.
Misalnya, jika GBHN menekankan pentingnya sektor pertanian untuk mencapai swasembada pangan, maka Repelita akan merinci program-program seperti pembangunan irigasi, penyediaan pupuk, penelitian varietas unggul, penyuluhan petani, dan target produksi beras per tahun dalam lima tahun ke depan. Hubungan antara GBHN dan Repelita ini sangat erat, GBHN adalah fondasinya, Repelita adalah bangunannya.
Diagram Sederhana:
mermaid
graph LR
A[UUD 1945 (Asli)] --> B[MPR]
B --> C[Menetapkan GBHN]
C --> D[Pemerintah/Presiden]
D --> E[Menyusun Repelita]
E --> F[Pelaksanaan Pembangunan Nasional]
F --> G[Evaluasi Kinerja (oleh MPR)]
Kenapa GBHN Dihapus Setelah Reformasi?¶
Salah satu perubahan fundamental pasca-Reformasi 1998 adalah amendemen terhadap UUD 1945. Amendemen ini mengubah banyak hal dalam struktur ketatanegaraan Indonesia, termasuk peran dan kedudukan MPR. MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara, melainkan sejajar dengan lembaga tinggi negara lainnya seperti DPR, Presiden, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi (lembaga baru), dan lain-lain.
Dalam kerangka UUD 1945 yang sudah diamandemen, MPR tidak lagi memiliki kewenangan untuk menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara dan tidak lagi memilih presiden dan wakil presiden (keduanya dipilih langsung oleh rakyat). Perubahan ini didasarkan pada beberapa alasan:
- Demokratisasi: Penghapusan GBHN dan pemilihan presiden langsung oleh rakyat dianggap sebagai langkah menuju sistem yang lebih demokratis, di mana akuntabilitas presiden langsung kepada rakyat, bukan kepada MPR.
- Checks and Balances: Perubahan ini memperkuat sistem checks and balances antarlembaga negara. MPR tidak lagi memiliki kekuasaan absolut sebagai lembaga tertinggi yang bisa memberi mandat dan mengevaluasi “mandatarisnya” (presiden).
- Fleksibilitas: GBHN, meskipun memberikan arah, terkadang dianggap terlalu kaku dan kurang responsif terhadap perubahan cepat di tingkat global dan nasional. Penghapusan GBHN memungkinkan proses perencanaan pembangunan yang lebih fleksibel.
- Menghilangkan Sentralisasi Kuasa: Di era Orde Baru, GBHN seringkali menjadi instrumen legitimasi bagi kekuasaan eksekutif yang sangat kuat, di mana MPR seringkali dianggap hanya melegitimasi rencana yang sudah disiapkan pemerintah. Penghapusan GBHN diharapkan mengurangi potensi sentralisasi kekuasaan semacam itu.
Dengan demikian, setelah UUD 1945 diamandemen, tidak ada lagi landasan konstitusional bagi MPR untuk menetapkan GBHN, sehingga dokumen ini secara efektif dihapus dari sistem ketatanegaraan Indonesia.
Apa Pengganti GBHN Saat Ini?¶
Meskipun GBHN sudah tidak ada, negara tetap membutuhkan kerangka perencanaan pembangunan jangka panjang dan menengah agar pembangunan bisa berjalan terarah, konsisten, dan berkelanjutan. Saat ini, kerangka perencanaan pembangunan di Indonesia diatur oleh undang-undang, bukan lagi ketetapan MPR berdasarkan UUD.
Sistem perencanaan pembangunan nasional saat ini mengacu pada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Kerangka utamanya terdiri dari:
- RPJPN (Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional): Ini adalah rencana pembangunan untuk periode 20 tahun. RPJPN saat ini adalah periode 2005-2025. Dokumen ini ditetapkan dengan undang-undang. RPJPN ini semacam visi besar jangka panjang negara.
- RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional): Ini adalah rencana pembangunan untuk periode 5 tahun, yang merupakan penjabaran dari RPJPN. RPJMN ditetapkan dengan peraturan presiden dan menjadi acuan bagi presiden terpilih dalam menjalankan pemerintahannya. Visi dan misi presiden terpilih menjadi dasar dalam penyusunan RPJMN.
- RKP (Rencana Kerja Pemerintah): Ini adalah rencana tahunan yang merupakan penjabaran dari RPJMN, ditetapkan dengan peraturan presiden.
Dibandingkan GBHN, RPJPN/RPJMN memiliki beberapa perbedaan. RPJPN dan RPJMN disusun berdasarkan undang-undang, bukan mandat konstitusional MPR. RPJMN secara spesifik juga didasarkan pada visi dan misi presiden terpilih, yang dipilih langsung oleh rakyat. Ini mencerminkan sistem presidensial di mana presiden memiliki legitimasi kuat dari rakyat untuk menjalankan program-programnya sesuai janji kampanye, yang kemudian dijabarkan dalam RPJMN.
Pro dan Kontra Sistem GBHN¶
Diskusi mengenai GBHN seringkali memunculkan perdebatan. Ada yang melihatnya sebagai sistem yang punya kelebihan, ada juga yang menyoroti kekurangannya, terutama dalam konteks praktik di masa Orde Baru.
Pro (Kelebihan):
- Arah Jelas Jangka Panjang: GBHN memberikan visi dan arah pembangunan yang konsisten untuk periode lima tahun, bahkan bisa berlanjut dari satu periode ke periode berikutnya (meskipun GBHN-nya diperbarui), menciptakan keberlanjutan program pembangunan.
- Stabilitas Pembangunan: Dengan adanya pedoman yang mengikat, pembangunan cenderung lebih stabil dan tidak mudah berubah arah meskipun terjadi pergantian menteri atau pejabat.
- Alokasi Sumber Daya: Membantu dalam menentukan prioritas dan alokasi sumber daya nasional secara terencana sesuai dengan tujuan GBHN.
- Disiplin Penyelenggara Negara: Penyelenggara negara, terutama presiden, punya kewajiban konstitusional untuk melaksanakan GBHN, sehingga menciptakan disiplin dalam perencanaan dan pelaksanaan program.
Kontra (Kekurangan):
- Kekakuan: GBHN bisa menjadi terlalu kaku dan sulit beradaptasi dengan perubahan cepat dalam dinamika global atau munculnya tantangan baru yang tidak terprediksi saat GBHN disusun.
- Kurang Responsif: Proses penyusunan GBHN oleh MPR (yang bersidang dalam periode tertentu) bisa kurang responsif terhadap aspirasi masyarakat yang berkembang secara dinamis.
- Potensi Sentralisasi Kekuasaan: Dalam praktiknya di masa Orde Baru, GBHN seringkali menjadi instrumen legitimasi bagi kekuasaan eksekutif yang sangat kuat, di mana prosesnya kurang partisipatif dan cenderung top-down.
- Keterikatan dengan Rezim Tertentu: GBHN Orde Baru sangat identik dengan rezim yang berkuasa saat itu dan ideologi pembangunan yang dianutnya, sehingga dianggap tidak sesuai lagi pasca-Reformasi.
Perdebatan mengenai perlu tidaknya kembali memiliki sesuatu yang mirip GBHN, namun dengan mekanisme yang lebih demokratis dan partisipatif, masih terus muncul dalam wacana publik dan politik di Indonesia.
Fakta Menarik Seputar GBHN¶
- GBHN pertama kali ditetapkan pada tahun 1966 melalui Sidang Umum IV MPRS (pendahulu MPR) dengan nama “Catur Karya Kabinet Ampera” dan “Panca Swa Sembada”. Kemudian pada tahun 1967, MPRS mengesahkan “GBHN MPRS” yang menjadi dasar bagi Orde Baru.
- GBHN yang paling sering dibahas dan menjadi acuan utama adalah GBHN yang ditetapkan oleh MPR setiap lima tahun selama era Orde Baru, dimulai dari Sidang Umum MPR 1973 yang menetapkan GBHN 1973-1978, hingga GBHN terakhir tahun 1998-2003 yang tidak sempat selesai dilaksanakan karena berakhirnya Orde Baru.
- Setiap GBHN Orde Baru selalu diawali dengan uraian tentang “Falsafah dan Tujuan Pembangunan Nasional” yang berakar pada Pancasila dan UUD 1945.
- Dalam pidato pertanggungjawabannya di depan MPR, Presiden selalu melaporkan sejauh mana pelaksanaan GBHN periode sebelumnya.
Memahami GBHN memberikan kita wawasan tentang bagaimana negara ini pernah merencanakan masa depannya secara terstruktur dan terpusat, serta alasan di balik perubahan sistem perencanaan pembangunan pasca-Reformasi.
Refleksi: Belajar dari GBHN untuk Pembangunan Masa Depan¶
Keberadaan GBHN di masa lalu, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, memberikan pelajaran berharga bagi perencanaan pembangunan kita saat ini. Pentingnya memiliki visi jangka panjang dan kerangka kerja yang jelas agar pembangunan tidak berjalan serabutan tetap relevan.
Namun, pengalaman GBHN juga menunjukkan pentingnya proses yang partisipatif, responsif terhadap perubahan, dan adanya checks and balances yang kuat dalam setiap sistem perencanaan pembangunan nasional. Sistem RPJPN dan RPJMN saat ini berusaha menggabungkan kebutuhan akan perencanaan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang lebih kuat pasca-Reformasi.
Debat mengenai apakah sistem saat ini sudah cukup atau perlu ada penguatan kembali kerangka perencanaan jangka panjang yang lebih mengikat (mungkin dalam bentuk undang-undang khusus atau amandemen terbatas) tetap menjadi diskusi menarik. Yang jelas, apapun kerangka yang dipakai, tujuannya tetap satu: mewujudkan cita-cita nasional untuk kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia secara berkelanjutan.
Nah, itu dia penjelasan lengkap tentang apa yang dimaksud GBHN, sejarahnya, fungsinya, sampai kenapa dihapus dan diganti apa. Ternyata cukup kompleks ya sejarah perencanaan negara kita!
Gimana nih menurut kamu? Penting nggak sih negara punya semacam “kompas besar” seperti GBHN itu? Atau sistem yang sekarang sudah lebih baik? Yuk, bagi pendapatmu di kolom komentar!
Posting Komentar